BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada zaman kolonial
pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari
sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu.
Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu
terbentuklah hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan
kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan
rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak
Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi,
sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.
Lahirnya
suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan
langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis
di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di
Nederland maupun di Hindia Belanda.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dari
makalah ini adalah:
1. Bagaimana proses
pendidikan selama penjajahan Belanda ?
2. Bagaimana istem
persekolahan pada zaman pemerintahan Belanda?
3. Bagaimana
proses pendidikan pada masa Jepang?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari
makalah ini adalah:
1.
Untuk menjelaskan proses pendidikan selama penjajahan Belanda.
2.
Ingin menjelaskan sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Belanda.
3.
Untuk menjelaskan pendidikan pada masa Jepang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Selama Penjajahan Belanda
Pendidikan
selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar,
yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa
pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan
sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat
dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
1.
Zaman
VOC (Kompeni)
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad
sebelum kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia
tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh
misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil
tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius.
Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran
agama.Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang
lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu.
Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak
kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan
portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya
dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.
2.
Zaman
Pemerintahan Belanda Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/
komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena
pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang
diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh
kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan
social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah
Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi
poetra, serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak
berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan
mewajibkan kerja paksa (rodi).
Didalam lapangan pendidikan Deandels
memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa
uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan
sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah
ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan
Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun
Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan
perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama
sekali. Ia menulis buku History of Java.
Tahun 1826 lapangan pendidikan dan
pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah
yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia
yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial
yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro
(1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda
dan Belgia (1830-1839).
a. Hasil
sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini
terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
b. Dikalangan
pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang
harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
c. Adanya
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan
pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.
B.
Sistem
persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Secara umum sistem pendidikan khususnya
system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau
lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku
waktu itu, yaitu :
1.
Pendidikan
Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk
tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:
a. Sekolah
rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda
1) Sekolah
rendah Eropa, yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa.
2) Sekolah
Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk
anak-anak keturunan tmur asing.
3) Sekolah
Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah
untuk golongan penduduk Indonesia asli.
b. Sekolah
rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
1) Sekolah
Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk
golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892
2) Sekolah
Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya
sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907
3) Sekolah
Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah
desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali
didirikan pada tahun 1914
4) Sekolah Peralihan
(Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah
desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk
orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang
pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan
sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah
ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian
diintegrasi ke ELS atau HIS.
2.
Pendidikan
lanjutan = Pendidikan Menengah
a. MULO
(Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga
sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914
b. AMS
(Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO
berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama
belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915
c. HBS
(Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, Didirikan
pada tahun 1860
3.
Pendidikan
Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika
pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis
sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
a. Sekolah
pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah
b. Sekolah
pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar
Belanda
c.
Sekolah teknik (Technish Onderwijs)
d. Pendidikan
Dagang (Handels Onderwijs)
e. Pendidikan
pertanian (landbouw Onderwijs)
f. Pendidikan
kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs)
g. Pendidikan
Rumah Tangga (Huishoudschool)
h. Pendidikan
keguruan (Kweekschool)
4.
Pendidikan
Tinggi (Hooger Onderwijes)
Karena
terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a. Sekolah
Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).
b. Sekolah
Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).
c. Pendidiakn
tinggi kedokteran.
C. Sejarah
Penjajahan Indonesia
Masa penjajahan Indonesia tidak langsung
dimulai ketika orang-orang Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara
pada akhir abad ke-16. Sebaliknya, proses penjajahan oleh Belanda merupakan
proses ekspansi politik yang lambat, bertahap dan berlangsung selama beberapa
abad sebelum mencapai batas-batas wilayah Indonesia seperti yang ada sekarang.
Selama abad ke-18, Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai
kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan
Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan utama di
perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan
minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan
kekuasaan mereka pada ekonomi lokal. Namun korupsi, manajemen yang buruk dan
persaingan ketat dari Inggris (East India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC
menjelang akhir abad ke-18. Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian
dinasionalisasi oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di
Nusantara jatuh ke tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika
Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut
dipindahkan ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo
diputuskan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.
D.
Arsitek
Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
Dua nama menonjol sebagai arsitek
Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem Daendels,
Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis dan, kedua,
Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa
dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan
daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi)
yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa yang disebutkan residen, yang
secara langsung merupakan bawahan dan harus melapor kepada Gubernur Jenderal di
Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi
mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian. Raffles melanjutkan
reorganisasi pendahulunya dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem
administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa
petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen
tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan
budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of
Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun,
reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya
intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari
meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di
residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini
meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah
sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki
Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa
dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari
aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram.
Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak
Belanda.
Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau
Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda
memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro
(yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara
tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah
dan menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan
mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi
setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh
lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.
E.
Tanam
Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa
Persaingan dengan para pedagang Inggris,
Perang Napoleon di Eropa dan Perang Jawa mengakibatkan beban finansial yang
besar bagi keuangan Kerajaan Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi
sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal
Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia
mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda
menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830.
Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di
Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah)
komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti
para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada
Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang
dengan harga yang sudah ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi
di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi
mereka mengirimkan lebih banyak hasil panen dari waktu-waktu sebelumnya, dan
karena itu mendorong intervensi top-down dan penindasan. Selain
pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku.
Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara 1832 dan 1852,
sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa.
Antara 1860 ke 1866, angka ini bertambah menjadi 33%.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa tidak
didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa,
pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa bergabung di dalamnya.
Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa direorganisasi - Pemerintah
Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka
pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses
privatisasi terjadi ketika Pemerintah Kolonial secara bertahap mengalihkan
produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha Eropa.
F.
Zaman
Liberal Hindia Belanda
Semakin banyak suara-suara terdengar di
Belanda yang menolak Sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan yang
lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan Sistem Tanam Paksa
ini terjadi karena alasan-alasan kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok
liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan sukses
menghilangkan beberapa karakteristik Sistem Tanam Paksa, seperti persentase
penanaman dan keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk mengekspor
hasil panen. Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode
baru dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900).
Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam
kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang
lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha
Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun - walaupun kaum liberal mengatakan
bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal
- keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan
penyakit tidak lebih baik dibandingkan masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad
ketika Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara.
Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk
mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah
satu motif penting bagi Benda untuk memperluas wilayah di Nusantara - selain
keuntungan keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil
bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal dan lama selama
periode ekspansi Belanda adalah Perang Aceh yang dimulai di tahun 1873 dan
berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang.
Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Integrasi politik
antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan politis kolonial
telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.
G.
Politik
Etis dan Nasionalisme Indonesia
Ketika perbatasan Hindia Belanda mulai
mengambil bentuk menjadi Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat
pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Politik Etis,
akan diterapkan. Politik Etis (mengakui bahwa Belanda memiliki hutang budi
kepada orang nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk
asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui intervensi negara secara
langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan 'irigasi,
pendidikan dan emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan
kesuksesan yang signifikan dalam meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.
Politik Etis menyebabkan efek samping
yang besar. Komponen pendidikan berkontribusi signifikan pada kebangkitan
nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi masyarakat
Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka
terhadap Pemerintah Kolonial. Politik Etis memberikan kesempatan, untuk
sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat
mengenai kebebasan dan demokrasi. Untuk pertama kalinya orang-orang pribumi
mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.
Pada 1908, para pelajar di Batavia
mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi yang pertama.
Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini
memulai tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia dan para pejabat
pemerintahan Belanda yang diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat
mencapai kemerdekaan yang terbatas. Bab selanjutnya dalam kebangkitan
nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik pertama berbasis masa,
Sarekat Islam di 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung
para pengusaha asli untuk melawan para pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi
lokal namum kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran politik
populer dengan tendensi subversif. Gerakan-gerakan penting lainnya
yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah Muhammadiyah,
gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan di tahun 1912 dan Asosiasi
Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan tahun 1914 yang
menyebarkan ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan
ini kemudian mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1920.
Pada awalnya, Pemerintah Kolonial
Belanda mengizinkan pendirian gerakan-gerakan politik lokal namun ketika
ideologi Indonesia diradikalisasi di tahun 1920an (seperti yang tampak dalam
pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun
1926 dan 1927) Pemerintah Belanda mengubah tindakannya. Sebuah rezim yang
relatif toleran digantikan dengan rezim represif yang menekan semua tindakan
yang diduga subversif. Rezim represif ini hanya memperparah keadaan dengan meradikalisasi
seluruh gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini
mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 1927 sebagai sebuah
reaksi pada rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh
untuk Indonesia.
Peristiwa penting lainnya bagi
nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada kongres yang
dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme diproklamasikan,
menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Tujuan
utama dari kongres ini adalah mendorong persatuan antara kaum muda Indonesia.
Di dalam kongres ini lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional
(Indonesia Raya) dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan
(merah-putih) dikibarkan untuk pertama kalinya. Pemerintah Kolonial Belanda
bertindak dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda,
seperti Sukarno (yang menjadi presiden pertama
Indonesia di tahun 1945) dan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia yang
pertama) ditangkap dan diasingkan.
H.
Invasi
Jepang ke Hindia Belanda
Pihak Belanda cukup kuat untuk mencegah
nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap para pemimpinnya dan menekan
organisasi-organisasi nasionalis namun mereka tidak pernah bisa menghapuskan
sentimen nasionalisme. Orang-orang Indonesia, di sisi lain, tidak memiliki
kekuatan untuk bersaing dengan para pemimpin kolonialis dan karenanya
membutuhkan bantuan-bantan dari luar untuk menghancurkan sistem kolonial. Di
Maret 1942, orang-orang Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak,
menyediakan bantuan tersebut dengan menguasai Hindia Belanda. Walaupun pada
awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk Indonesia, mereka segera
mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian
dan obat dan juga kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan
terjadi terutama disebabkan karena administrasi yang tidak kompeten, mengubah
Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja
sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam
proyek-proyek yang membutuhkan banyak tenaga kerja di Jawa.
Ketika Jepang mengambil alih para pejabat
Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan oleh orang-orang
Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan. Orang-orang Jepang
mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia dan memberikan
suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para pemimpin
nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada
bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif
mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan
nasionalis Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial
Pemerintah Kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru. Pada 17 Agustus 1945,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dua hari setelah
penjatuhan bom atom di Nagasaki.
I.
Pendidikan
Masa Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan
wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi
Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand,
Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan
ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko
Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”,
bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan
menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan
militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung
kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah
Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan
akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas
terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara
lain:
a. Dijadikannya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda
b. Adanya
integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda
Sistem pendidikan pada masa pendudukan
Jepang itu kemudian dapat di ikhtisarkan sebagai berikut:
a. Pendidikan
Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah
Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun
bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
b. Pendidikan
Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama
studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama
studi 3 tahun.
c. Pendidikan
Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
d. Pendidikan
Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi,
Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah
pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret
1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak
menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa
setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat
bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini
dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan
China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di
Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa
pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize
kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk
menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih
guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan
pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara
lain:
1)
Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu
2)
Nippon Seisyin, yaitu latihan
kemiliteran dan semangat Jepang
3)
Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang
4)
Ilmu bumi dengan perspektif geopolitics
5)
Olaharaga dan nyanyian Jepang.
Sementara
untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk
rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1)
Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang,
Kimigayo setiap pagi
2)
Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan
menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi
3)
Setiap pagi mereka juga harus melakukan
Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya
4)
Setiap pagi mereka juga diwajibkan
melakukan Taiso, senam Jepang
5)
Melakukan latihan-latihan fisik dan
militer
6)
Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Setelah
menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah
berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa
lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan
China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi
Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification
(penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi
ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa
asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran.
Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah
yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah
lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan
izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus
mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya
tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa
bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi
pendidikan lainnya.
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
a.
Mengubah Kantoor Voor Islamistische
Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang
dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka;
b.
Pondok pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
c.
Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di
bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
d.
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung
Hatta;
e.
Diizinkannya ulama dan pemimpin
nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi
cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
f.
Diizinkannya Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas
besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Lepas
dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika
itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah
tercapainya kemerdekaan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pendidikan
selama penjajahan Belanda
Selama penjajahan Belanda dapat
dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde
Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda
(Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan)
dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud
dan kepentingan komersial.
2. Sistem
persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Secara
umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan
penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu. Yaitu : 1) Pendidikan Rendah (Lager
Onderwijs). 2) Pendidikan lanjutan / Pendidikan Menengah. 3) Pendidikan
Kejuruan (vokonderwijs ). 4) Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs).
3.
Pendidikan Masa Jepang
Sejak
1942 Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
a.
Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
b.
Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar